“Aku mau bercerita sedikit. Tolong dengarkan, ya,” kata (alm) KH. Nawawi Abdul Aziz, Pengasuh Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem Bantul, sekira sembilan tahun lalu. Sebagai tamu sekaligus santri, tentu saya ta’zhim dan setia mendengarkan beliau bercerita.
“Ada seorang kiai mempunyai pesantren dengan 30 orang santri,” tutur beliau. “Awalnya, dia sangat rajin mengajar para santrinya itu. Suatu hari, kiai ini mendapat undangan berceramah di luar kota. Terpaksa dia harus meliburkan jadwal mengajinya untuk para santri. Sontak para santri bersorak girang karena pengajian diliburkan.”
Mbah Nawawi, demikian beliau akrab disapa, sejenak menarik napas dalam-dalam lalu merapikan pakaian yang beliau kenakan dan menggeser posisi duduk agar lebih nyaman.
“Sekali, dua kali, tiga kali pengajian diliburkan, para santri menyambutnya dengan gembira,” beliau melanjutkan kisahnya. “Namun, pada kali keempat, ketika sang kiai hendak absen lagi dari mengajar karena harus berceramah di luar kota, tidak tampak lagi kegembiraan di wajah para santrinya. Semua muka masam. Semua mulut terdiam. Semuanya lalu bergegas mengemasi kitab dan pakaian, keluar dari pesantren itu.”
Saat itulah kiai tersebut tersadar bahwa sebagai mu’allim (pengajar) dan murabbi (pendidik) dia sejatinya mengemban amanah yang tidak ringan, yakni istiqamah dan bertanggung jawab lahir batin untuk mendidik para santri dan anak-anak didiknya.
Saat itu Mbah Nawawi tidak menyebutkan siapa dan di mana pelakon dalam cerita yang beliau tuturkan. Bahkan, sampai beliau wafat pada 24 Desember 2014, pelakon dan locus (tempat) dalam cerita itu tidak pernah beliau gamblangkan. Bisa jadi sekadar cerita rekaan untuk mewejang saya kala itu. Namun, bisa pula memang kisah nyata yang tak elok disebutkan pelakonnya. Terlepas dari rekaan atau kenyataan, sesungguhnya cerita tersebut merupakan wejangan yang sarat dengan pesan moral, terutama tentang istiqamah dan amanah.
Pendidikan akan mencapai puncak keberhasilan dan keberkahan manakala semua pihak bersama-sama mengedepankan prinsip istiqamah dan amanah. Jika kepala sekolah, guru, staf, orang tua, komite sekolah, orang tua siswa, dan para siswa sadar akan pentingnya amanah dan istiqamah, insyaAllah tujuan pendidikan di sekolah tersebut akan tercapai dengan taburan keberkahan dari Allah Ta’ala. Kesadaran akan hal ini tidak bisa dibangkitkan hanya dengan cara diseminarkan atau dijadikan slogan, tetapi harus benar-benar ditanamkan secara ruhaniah di dalam hati.
“Educating the mind without educating the heart is no education at all.” — Aristoteles
(Mendidik pikiran tanpa mendidik hati adalah tidak mendidik sama sekali.)
Istiqamah menunaikan amanah memang teramat berat. Karenanya para ulama mengatakan, “Satu keistiqamahan lebih baik daripada seribu keramat.” Rasulullah juga bersabda, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah, dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (HR. Ahmad)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa membuka kesadaran kita dan memberi pertolongan kepada kita agar senantiasa beristiqamah dalam menunaikan amanah. Aamiin… []
*) Intisari tulisan ini telah dipublikasikan di SKH. Kedaulatan Rakyat pada Jumat Kliwon, 5 Januari 2018, halaman 10. Dipublikasikan juga di http://www.pondok-ngrukem.com
*) Intisari tulisan ini telah dipublikasikan di SKH. Kedaulatan Rakyat pada Jumat Kliwon, 5 Januari 2018, halaman 10. Dipublikasikan juga di http://www.pondok-ngrukem.com
0 komentar: